Baka to Tesuto to Syokanju, Bahasa Indonesia, Volume 8 : Soal Terakhir
Seorang penembak berdiri dengan tinggi
yang sama dengan monyet di pohon. Ketika peluru ditembakkan, cabang pohon
tempat monyet bergelayut patah, dan monyet mulai jatuh. Apa yang terjadi dengan
monyet dan peluru? Gunakan gambar berikut untuk menghitung.
Jarak antara penembak dan monyet adalah
A. tinggi monyet di cabang pohon adalah H, dan waktu yang dibutuhkan peluru
untuk mencapai cabang pohon adalah t. Tinggi peluru dari tanah adalah h(i) dan
tinggi monyet adalah h(j). kecepatan peluru adalah v, gravitasi adalah g.
Anggap tidak ada gesekan udara.
Jawaban
Himeji Mizuki:
h(i) = H- ½ gt2
h(j) = H ½ gt2
maka,
h(i) = h(j)
dari rumus itu, bisa kita simpulkan
bahwa tinggi monyet dan peluru adalah sama, jadi peluru akan mengenai monyet.
Komentar
guru:
Benar sekali. Biasanya orang akan
berpikir peluru akan melesat sangat cepat dan tidak akan terpengaruh oleh
gravitasi. Tapi sebenarnya, daya jatuh monyet dan peluru ke tanah mengikuti
hukum gravitasi. Jadi tinggi peluru dan monyet tidak terpengaruh oleh kecepatan
peluru, tapi hanya terpengaruh oleh gravitasi dan waktu. Sensei sengaja
menambahkan simbol lain di gambar, tapi kamu tidak terpengaruh, itu jawaban
yang bagus.
Jawaban
Sakamoto Yuuji:
Peluru akan mengenai kepala dan otak
akan muncrat seperti tomat.
Komentar
Guru:
Permainan Himeji-san di turnamen
baseball syokanju sepertinya sangat mengesankan.
Jawaban
Yoshii Akihisa:
h(i)t=(i)ta9=(i) (TLN: kena = sakit)
Komentar
guru:
Bahkan selain monyet pun, itu
menyakitkan.
***
“Se, selamat datang, Akihsia-kun!”
“…”
Ketika kubuka pintu rumah, Himeji-san menyambutku.
Dia berdiri di koridor seperti kemarin.
Dan dia mengenakan… baju yang lebih
terbuka dari pada kemarin.
… Emm…
“Eee, Himeji-san…”
“Y, ya!”
“Rumor itu hanya kebohongan, kamu pasti
mengerti, bukan?”
“Ya, aku salah menilai Akihisa-kun… aku
sangat menyesal.”
Himeji-san sepertinya sangat menyesal
karena dia meminta maaf sambil menundukkan kepalanya. Eee, sepertinya dia sangat
paham kalau hubungan anehku dengan Yuuji cuma fitnah.
“Lalu, kenapa kamu berpakaian seperti
ini?”
“…Ini baju yang kupakai sehari-hari.”
Kalau begitu, kenapa kamu tidak katakan
itu sambil menatap mataku?
“Himeji-san, aku ingin tanya lagi. Semua
rumor itu hanya fitnah, dan aku suka perempuan – kamu pasti mengerti, ya kan?”
“Ya.”
“Kalau kamu mengerti, kenapa kamu–“
“Ka, karena aku harus melakukan ini!”
Himeji-san tiba-tiba membungkukkan
badannya ke depan. A, apa?
“Karena itu, aku harus berpakaian
seperti ini. Karena–“
“Ka, karena?”
“Karena Akihisa-kun menyukai perempuan
tapi sama sekali tidak tertarik padaku kemarin.”
“…Hah?”
Apa yang dia maksud? Otakku sama sekali
tidak bisa memproses perkataannya.
Eee, coba kita ingat-ingat… aku bilang
aku tertarik pada perempuan, tapi aku tidak lakukan apapun ketika melihat
Himeji-san dengan pakaian yang sangat terbuka kemarin, dan itu menyakiti
perasaannya… begitu kah? Tidaktidaktidak! Itu pasti tidak mungkin! Aku tertarik
pada Himeji-san yang berpakaian sangat terbuka! Hanya saja aku menahan nafsuku
dengan akal sehatku!
“Karena itu! Kali ini aku tidak boleh
mundur!”
“Te, tete,ttete, tenang dulu Himeji-san!
Itu tidak baik!”
“Aku tahu ini tidak baik! Tapi aku tidak
bisa mundur lagi sekarang karena aku sudah sampai sini!”
“Karena sudah sampai seperti ini makanya
aku suruh berhenti! Kalau kamu melakukan ini pada orang yang tidak kamu sukai
sama sekali, kamu akan menyesalinya seumur hidup!”
Jadi Tarik nafas dan tenanglah – itu
yang ingin kukatakan, tapi tiba-tiba Himeji-san berhenti.
“…Orang yang tidak kusukai?”
“Ah… ya, benar. Orang yang tidak kamu
sukai.”
“…Akihisa-kun.”
“A, apa?”
Himeji-san menyipitkan matanya. Kenapa
dia terlihat menakutkan?
“Apa kamu pikir… aku tipe orang yang
berani melakukan ini pada orang yang tidak aku sukai?”
Mendengar itu, aku berpikir sejenak.
Termasuk Himeji-san, semua orang di
sekitarku selalu mempertahankan apa yang mereka yakini dan tidak mau
mendengarkan penjelasan orang lain.
“Ya, kira-kira.”
“…(krak)!”
Muncul urat nadi di kepala Himeji-san. Eh? Aneh banget, apa aku
salah ngomong?
“Hoo… kalau begitu, itu artinya kamu
sangat salah paham padaku…”
Himeji-san kembali memasang senyum dan
mengatakan itu dengan nada geram. Sialan. Sepertinya aku membuat dia marah.
“Karena Akihisa-kun bilang begitu, aku
juga punya ide.”
Ketika aku ingin berlutut meminta maaf,
Himeji-san berbicara kata per kata dengan sangat jelas.
“Akihisa-kun, ayo main game ketahanan.”
“Game ketahanan? Eh… apa itu?”
“Apakah aku lebih lama menahan rasa
malu, atau Akihisa-kun akan merubah penilaianmu tentang aku – inilah
pertandingan ketahanan, ‘tekad seorang wanita’!”
Sambil mengatakan itu, tangan Himeji-san
bergerak ke belakang punggungnya… eh?
“A, apa yang kamu lakukan?”
“Aku akan menggoda Akihisa-kun.”
Ctak, terdengar suara sesuatu terlepas dari belakang
Himeji-san. Suara itu…
“Shouko-chan dan Aikou-chan bilang kalau
laki-laki suka ini. Jadi – Akihisa-kun? Kamu mimisan?”
“Ma, maaf, Himeji-san! Sepertinya
darahku tiba-tiba naik ke kepala! Aku cuci muka dulu!”
“Eh? Tu, tunggu dulu! Kenapa kamu
menyerah? Aku baru melepas kait BH-ku, dan kamu sudah bereaksi seperti itu…
bukankah kalau begini tekadku bakalan jadi sia-sia? Rasanya sangat–“
Aku abaikan Himeji-san di belakang dan
berlari menuju wastafel. Barusan, ketika tangannya masuk ke dalam kaos, kaosnya
terangkat dan menunjukkan sedikit kulit! Dan kerahnya! Kerahnya sangat terbuka
sampai-sampai dadanya terlihat jelas! Gawat – hm? Apa ini? Ja, jangan-jangan…
“Akihisa-kun, tolong jangan kabur! Aku
belum selesai – A, akihisa-kun? Kenapa mimisanmu makin banyak!?”
Himeji-san mengikutiku ke wastafel dan
berteriak kaget. Fu… fufufu… bagus sekali, Himeji-san…
“Siapa sangka kamu sudah menebak aku
akan kabur dan menyiapkan jebakan di sini…”
Ada celana dalam pink di samping
wastafel.
“Gimana bilangnya ya? Perasaan kecewa
ini… pada akhirnya aku cuma melepas kait BH-ku…”
Aku tidak mengerti apa rencana Himeji-san,
tapi kalau dia ingin membunuhku, rencananya sangat ampuh. Kepalaku terasa
sangat aneh.
“Ugh… gawat. Kenapa mataku terasa
buram?”
Kepalaku terasa sangat pusing, dan
badanku sangat panas. Sudah kutebak rencana menggoda Himeji-san sangat ampuh.
“Eh? A, Akihisa-kun? Kamu baik-baik
saja? Wajahmu merah sekali…”
“Tidak apa-apa, kalau kamu khawatir
padaku, tolong jangan pakai pakaian terbuka seperti itu, ugh, aaah…”
Penglihatanku makin buram. Apa seperti
ini rasanya mabuk?
“Akihisa-kun, kamu demam?”
“Tidaktidaktidak, aku tidak–“
Sebelum menyelesaikan kata-kataku,
Himeji-san melebarkan tangannya dan memeluk tubuh linglungku. Terasa sentuhan
hangat. Tidak, tunggu. Bukannya sentuhan ini terasa sangat jelas. Kalau tidak
salah, hanya sepotong kaos yang menghalangi tanganku dan tubuh Himeji-san.
“Akihisa-kun! Kenapa wajahmu makin
merah!? Apa kamu demam!?”
Kemudian, aku langsung teringat
kata-kata Himeji-san. Bukankah dia tadi bilang? Dia melepas kait BH-nya!
Benar. Jadi begitu. Sentuhan lebut di
tanganku ini adalah…
“…Terima…kasih…”
“WAH, AKIHISA-KUN!”
Merasa sangat beruntung, aku jatuh
pingsan.
***
Terdengar suara es bergoyang di dalam
baskom berisi air.
Sepertinya ada seseorang yang sedang
memeras sesuatu di dekat kepalaku, kemudian terasa sesuatu yang dingin di
kepalaku. Ah… segarnya…
“… Uh… nnn…?”
“Kamu baik-baik saja, Akihisa-kun?”
“Hm? Kenapa… apa yang terjadi?”
Kenapa aku ada di kasur? Dan Himeji-san
sedang berdiri di samping kasur menatapku dengan khawatir.
“Maaf… karena aku melakukan hal yang
aneh kamu jadi seperti ini…”
Kata Himeji-san sambil terlihat depresi.
“Maaf, Himeji-san. Sepertinya aku
tertidur.”
“Kamu tidak tidur. Kamu demam.”
Pantas kepalaku terasa sangat berat dan
kakiku terasa ringan, ini gara-gara demam. Mungkin gara-gara dua hari ini aku
selalu berlari kehujanan, dan hari ini keringatan seharian.
“Jangan paksakan dirimu. Tetap tiduran
di kasur.”
“Ahh, tidak usah. Demam seperti ini
tidak akan…”
“Jangan remehkan penyakit. Benyak orang
yang sakit parah hanya karena sedikit demam.”
“Tidak, aku baik-baik saja…”
Aku merasa tidak terlalu sakit. Alasan
kenapa aku kena demam pasti gara-gara Himeji-san.
“Tidak boleh. Tetaplah tiduran. Mungkin
ini karena kamu kelelahan.”
“Uh… benarkah?”
“Pasti benar.”
Jawab Himeji-san. Aku memang kena demam
ringan, tapi dia terlalu berlebihan.
Dengan sedikit enggan aku mengalah dan
tetap rebahan di kasur dan menatap langit-langit. Uu~ nggak ada apa-apa.
“Akihisa-kun tidak mau tidur?”
Melihat aku sama sekali tidak memejamkan
mata dan tidur, Himeji-san jadi bingung.
“Bukannya aku tidak ingin tidur, tapi
aku tidak bisa tidur begitu saja kapanpun aku mau… sebaiknya aku melakukan
sesuatu dulu…”
“Tidak, jangan. Meski tidak bisa tidur,
tidak apa-apa. Tetap tidur di kasur.”
Sepertinya Himeji-san sama sekali tidak
mengizinkan aku tidur dari kasur. Gimana nih… sangat membosankan tiduran
seperti ini…
“…”
“…”
Tik, tik, tik. Suara jarum jam bergerak
menggema ke seisi ruang yang sunyi.
Tidak ada seorangpun yang berbicara dan
waktu terus berjalan.
Aku tiduran di kasur, dan Himeji-san
duduk di kursi di sebelahku. Aneh banget, rasanya aku pernah merasakan situasi
seperti ini…
“…Menunggu tanpa bersuara seperti ini
membuatku teringat masa lalu.”
“Masa lalu?”
“Ya, ketika SD.”
“Tapi posisi kita terbalik.”
Kata Himeji-san.
Ahh, begitu. Pantas saja aku merasa
seperti pernah melihat pemandangan ini sebelumnya. Jadi begitu.
“Oh, iya, jadi ini yang Himeji-san
rasakan ketika dirawat.”
“Eh… Akihisa-kun masih ingat?”
Mata Himeji-san terbelalak sambil
menatapku. Matanya seperti menginginkan sesuatu.
“Maaf, aku tidak terlalu ingat, tapi
samar-samar aku ingat ini pernah terjadi.”
“Tidak, kamu mengingatnya saja sudah
cukup.”
Sepertinya aku tidak bisa menjawab
harapannya, tapi Himeji-san tersenyum bahagia.
“Kalau begitu, Akihisa-kun…”
“Hm? Apa, Himeji-san?”
“Boleh aku… sedikit mengerjaimu?”
Himeji-san menatapku dengan penasaran,
sepertinya dia sedang meminta izin.
Sepertinya ini gawat, dan aku tidak tahu
apa yang akan dia lakukan padaku…
“Boleh kalau cuma mencoret wajahku.”
“Aku tidak akan melakukan itu.”
Fufufu, Himeji-san tertawa ringan lalu
tersenyum ceria. Yah, mana bisa aku menolaknya.
“Kalau begitu yang lembut ya.”
“Terima kasih. Karena aku sudah dapat
izin–”
Sebelum menyelesaikan kata-katanya, Himeji-san
menyentuh rambutnya.
“—Oke, aku pasang ya…”
Dia melepas penjepit rambut kelinci yang
selalu dia kenakan dan memasangnya di poniku. Dia sebut ini mengerjai?
“Dasar, aku kira kamu mau melakukan
apa…”
“Fufufu, kamu terlihat sangat manis. Akihisa-kun
sangat cocok memakainya.”
Di situasi seperti ini dia masih
memandangku seperti perempuan, itu sangat canggung. Sangat menggangguku.
“Eh… aneh…”
Tiba-tiba, aku teringat sesuatu.
“Aku adalah anak tunggal dan memiliki
fisik yang lemah. Jadi ketika aku sakit, aku merasa sangat kesepian dan cemas.”
“Eh? Ah, ya, mungkin.”
Aku sangat jarang sakit, jadi aku tidak
yakin soal ini, tapi ketika ada seseorang di sampingku seperti Himeji-san
sekarang, aku merasa sangat senang. Tanpa Himeji-san di sampingku, nee-san akan
kerja seperti biasa dan tidak akan pulang sampai sore, dan aku akan terus
berbaring karena demam… jika kubayangkan, aku merasa sangat kesepian dan cemas.
“Badanku terasa sangat lemas, merasa sangat
bosan dan memikirkan hal-hal yang tidak menyenangkan…”
Biasanya orang-orang bilang suasana hati
dan tubuh saling mempengaruhi. Ketika mood menurun, tubuh akan jatuh sakit;
ketika tubuh jatuh sakit, mood menjadi lemah. Itu sebabnya, ketika seseorang
jatuh sakit, mereka akan memikirkan hal-hal negatif. Aku rasa itu hal yang
masuk akal.
“Apakah aku akan kesepian selamanya,
apakah semua orang akan meninggalkan aku… pernah aku berpikir seperti itu.”
Mungkin ini bukan topik yang berat –
tapi anehnya kata-kata Himeji-san meninggalkan bekas di hatiku.
“Jadi, pada saat itu, ada seorang anak
laki-laki yang mau menemaniku, dan aku merasa sangat… bahagia… dan itu adalah
kenangan paling berharga.”
Suasana ini membuatku terdiam
mendengarkannya yang terus berbicara dengan pelan seakan sedang mencurahkan
hatinya.
Mungkin… bagi kami, ini bukan
perbincangan biasa?
***
“Aku pulang.”
“Selamat datang, Akira-san. Hari ini
pulangnya sangat larut ya.”
“Maaf lama. Apa Aki-kun melakukan
sesuatu yang terlarang?”
“Uu, soal itu… sebenarnya Akihisa-kun
kena demam.”
“Oh? Demam? Jarang sekali. Baiklah, aku
akan melihatnya kalau begitu. Apa dia di kamarnya?”
“Ya, dia sedang tiduran di kamarnya.”
“Mana… ah, sepertinya sudah tidur.”
“Barusan dia sedang membaca.”
“Terima kasih, Mizuki-san, sudah merawat
Aki-kun.”
“Oh, tidak. Ini bukan apa-apa.”
“Hah, dasar anak ini… gara-gara dia
lari-larian sambil kehujanan makanya dia jadi sakit. Aku harus memarahinya
kalau sudah sembuh.”
“Karena dia selalu memaksakan dirinya
makanya dia…”
“Anak itu memang selalu seperti itu. Begitu
terjadi sesuatu, dia bakalan bertindak tanpa pikir panjang dan jadi terluka.”
“Ahaha, benar.”
“Atau malah, seperti itulah dia
seharusnya.”
“Seperti itu… seharusnya?”
“Ya.”
“Kalau begitu… Akira-san…”
“Hm, apa, Mizuki-san?”
“Apa kamu tidak khawatir dengan
Akihisa-kun?”
“Apa maksudmu?”
“Akihisa-kun akan selalu ikut campur dan
kadang mengabaikan dirinya sendiri.”
“Ah, jadi itu maksudmu.”
“Ya. Apa Akira-san tidak
menghentikannya?”
“Yaaah… kalau bisa, aku selalu ingin
membantu dia mencapai tujuannya dan mencegah dia mendapatkan masalah…”
“…”
“Tapi jika dia ingin melakukan sesuatu
dan aku tidak bisa membantunya sama sekali – aku akan menghormati keputusannya
dan membiarkan dia melakukan apapun yang dia mau.”
“Tapi bagaimana kalau dia terluka?”
“Kalau dia terluka, itu yang dia
inginkan. Tidak ada yang perlu kukatakan, bukan?”
“Tapi…”
“Anak itu tidak pandai belajar, bodoh
dan kikuk dan selalu salah paham. Tapi…”
“…”
“Kepribadian terus terangnya adalah
suatu kebanggan bagiku sebagai kakaknya.”
“Akira-san… kamu sangat dewasa.”
“Tidak, aku tidak sehebat itu. Bukannya
dewasa, tapi –“
“Tapi?”
“ – aku hanyalah kakak perempuan yang
sangat mencintai adik laki-lakinya.”
***
“Uh… hn…?”
Keesokan paginya.
Sebelum alarm berbunyi, aku bangun dan merasa
seseorang ada di dekatku.
“Ah… maaf, apa aku membangunkanmu?”
Di samping kasurku ada Himeji-san, yang
hampir mengelus kepalaku – ah, apa dia ingin mengecek suhu tubuhku?
“Kamu baik-baik saja, Akihisa-kun?”
Sayangnya, aku bangung, dan tangan Himeji-san
yang sudah terulur kembali ditarik, yang membuatku menyayangkannya.
“Ya, sudah baik. Demamku sudah hilang.”
Bukannya ingin membuat dia tidak
khawatir, malahan aku sama sekali tidak merasa sakit atau semacamnya. Makanya,
kukepalkan tanganku dan menjawabnya dengan semangat. Ngomong-ngomong, demamku
tidak segitu parah. Itu karena Himeji-san melakukan hal seperti itu makanya darahku
jadi naik…
“…”
“Jangan bohong, Akihisa-kun. Wajahmu
masih merah.”
“Ahh, tidak, itu karena…”
Itu karena aku memikirkan peristiwa kemarin.
“Akihisa-kun, jangan memaksakan dirimu.
Istirahat untuk hari ini dan sembuhkan demammu.”
Menyuruhku tinggal di rumah… aku memang
tidak pandai belajar, tapi aku tidak benci pergi sekolah. Bukankah lebih
menarik di sekolah dari pada tinggal di rumah, ya kan? Apa lagi –
“Perang syokanju belum berakhir.
Ditambah mereka butuh kemampuan bertarungku, aku tidak bisa istirahat hanya
karena demam.”
Kalau kami kalah di perang ini, jarak
kami dengan Kelas A bakalan makin jauh. Lalu kami harus memakai fasilitas payah
itu lagi. Maka dari itu kami tidak boleh kalah.
“Dasar, Akihisa-kun… kamu jangan
khawatirkan perang syokanju. Aku berusaha keras dengan Akihisa-kun. Jadi aku
akan berusaha lebih keras supaya kamu tidak perlu memaksakan dirimu.”
“Eh, tapi…”
“Jangan mengeluh. Aku tidak akan
mengomelimu lagi setelah kamu sembuh.”
“Maksudku bukan itu…”
“Dasar, kenapa kamu tidak mau nurut
padaku? Kalau Akira-san kamu langsung patuh.”
“Bukan soal patuh atau tidak. Ancaman
dia memaksa aku untuk patuh…”
Sepertinya Nee-san sudah berangkat
kerja. Apa dia sibuk akhir-akhir ini?
jadinya aku tidak perlu takut dimarahi
dan dihukum pagi-pagi begini olehnya, syukurlah.
Tapi, Himeji-san berkata,
“Kalau begitu… Akihisa-kun, kalau kamu
tidak menurut, aku akan menciummu!”
Apa-apaan? Dia meniru Nee-san? Dasar…
“Yaah… meski Himeji-san meniru Nee-san,
aku tidak akan –“
“…Um…”
Sensasi lembut menyentuh bibirku.
“…………………………………………………….eh……………………………..?”
“Oke, sekarang kamu harus tidur.”
Himeji-san meninggalkan kata-kata itu
sebelum pergi dan menutup pintu.
“…………………………………………………….eh……………………………..?”
Ditinggal sendirian di dalam kamar, aku
masih tidak mengerti apa yang terjadi dan aku hanya bisa duduk di kasur
bengong.
Mantap lanjut min
ReplyDeletebakal dilanjut?
ReplyDeleteGoldstone goldstone goldstone goldstone goldstone goldstone goldstone
ReplyDeleteGoldstone goldstone goldstone goldstone goldstone titanium bolts goldstone goldstone goldstone goldstone titanium grinder goldstone goldstone goldstone titanium vs steel goldstone titanium teeth dog goldstone goldstone goldstone titanium security goldstone goldstone goldstone goldstone
qg018 vinci leather purse,allsaints norge,autry shoes,nobullisrael,benetton cardigan sale,moncler homme basket,monclersuissemagasin,veja laufschuhe,carhartt כובעים bl737
ReplyDelete