Tatakau Shisou chap 1 (2) B. Indonesia

Chapter 1 (2) BOMB, A BOOK, AND A GREY TOWN
Diterjemahkan oleh I-Fun Novel



Bagian 2

Mereka pergi keluar dari jalan utama menuju gang.

Berbagai toko berbaris di kedua sisi jalan yang sempit.

Roti gandum yang ditampilkan di etalase toko roti. Pakaian tua dan sepatu kayu untuk pekerja yang berlatar gunung menumpuk di depan sebuah toko pakaian.

Suatu kedai kecil menawarkan hal-hal seperti sup dan kentang panggang untuk orang-orang yang menggali Buku. Banyak pria disana mengangkat keributan, mengisi perut mereka sambil berdiri.

Di hadapan mereka, penjaja berlalu lalang dengan keranjang, menjual berbagai macam barang.

Pada ujung jalan hanya ada pengemis yang tidak mampu bekerja di gunung.

Anak-anak yang bermain bisa terlihat di banyak sudut.

Ketiga orang ini, tanpa tujuan berjalan melalui kerumunan.

"Hyoue, Colio"

Panggil Relia yang sedang di depan.

"Apakah kalian pernah membaca Buku?"

Colio tidak mengatakan apapun. Hyoue yang menggantikannya menjawab.

"Tidak"

"Aku juga tidak"

Relia menimpali sambil terus berjalan. Keduanya mengikuti dari belakang.

"Tapi, kalian mungkin telah membaca satu dulunya, kan?"

"Mungkin memang pernah, tapi aku tidak tahu tentang hal itu"

Hyoue menggeleng. Colio masih diam, tapi dia berpikiran sama sepertinya. Itu dikarenakan dia memiliki kenangan hanya setengah tahun lalu.

Dirinya terbangun dalam ruangan berlantai batu yang gelap, sadar bahwa dia adalah bom, dan belajar kalau bom takkan bisa mendapatkan kebahagiaan. Kemudian, ia datang ke kota ini hari sebelum kemarin dengan tujuan menghabisi Hamyuts Meseta.

Colio akan membunuh Hamyuts di kota ini. Dia tidak memiliki apapun selain tujuan itu. Lalu bertemu dengan Relia dan Hyoue di kereta saat menuju ke sini.

"Hei, sebaiknya kita lebih banyak mengobrol"

Relia tiba-tiba berucap.

"….Hah?"

Jawab Colio, kebingungan.

"Jika kita hanya berdiam diri sambil berjalan, itu akan terlihat aneh"

"....Kau ada benarnya"

Colio melihat sekeliling. Saat ini, ia memang merasa tidak ada tanda-tanda orang yang berjalan di sekitar kota untuk mengawasi mereka.

Tapi akan buruk untuk hanya tampil mencurigakan.

Sayangnya, ia tak mampu menemukan topik pembicaraan. Membunuh Hamyuts Meseta---itu satu-satunya hal yang Colio tahu.

"Apa yang harus kita bicarakan?"

Atas pertanyaannya, Relia menjawab.

"Ayo kita membahas tentang para Dewa"

"Para Dewa?"

"Aku mendengar cerita tentang para Dewa beberapa waktu lalu"

Relia mereka mengatakan ini dengan nada nostalgia.

"Kapan itu?"

Tanya Hyoue agak keheranan.

"Aku tidak ingat. Mungkin sudah lama"

"....Kau mempunyai kenangan yang tidak terhapus?"

Colio dan Hyoue sama-sama terkejut. Relia berkata sambil menengok kebelakang.

"Apa kalian sendiri tidak punya?"

"….Aku tidak"

Ucap Hyoue.

"Begitu juga diriku"

Colio juga menjawab.

"….Aku mengerti"

Wajah pemimpin mereka tampak sedikit kesepian, tapi dia tidak membalas sama sekali tentang itu.

"Pokoknya, ayo kita bicara. Jadi kita bisa membunuh Hamyuts"

Colio meluruskan percakapan.

"Benar....dari mana aku harus mulai?"

Sebentar berpikir, Relia kemudian mulai membuka mulutnya.

"Aku juga lupa hampir semuanya. Seperti di mana dan kapan diriku pernah mendengar ini. Aku hanya masih memiliki sedikit pengetahuan. Beberapa waktu yang lalu, {Pengawas dari Awal dan Akhir} muncul di dunia. Pertama, {Pengawas dari Awal dan Akhir} telah menggunakan kekacauan untuk membuat langit, bumi, dan lautan. Ini mengambil sekitar satu juta tahun. Selanjutnya, dengan membentuk kekacauan yang lain, ia menciptakan hewan dan tumbuhan. Ini mengambil sekitar seratus ribu tahun. Kemudian, dengan mengolah sisa-sisa kekacauan, ia menciptakan manusia. Ini mengambil sepuluh ribu tahun. Akhirnya, ia memotong tubuhnya sendiri dan menciptakan tiga Dewa terpisah"

Relia terus berbicara panjang. Hyoue dan Colio mendengarkan tanpa berucap apapun.

"Para Dewa itu telah menggantikan peran {Pengawas dari Awal dan Akhir}. Mereka pun membagi dunia menjadi tiga bagian, satu untuk masing-masing. Penjelasan dari ketiganya adalah, Orntorra--Pengawas dari Mereka yang Belum Datang, Toitorra---Pengawas dari Mereka yang Ada, dan Bantorra---Pengawas dari Mereka yang Sudah Lewat. {Pengawas dari Awal dan Akhir} pun meninggalkan dunia untuk tiga Pengawas baru, dan pergi dalam tidur yang sangat panjang. Itulah bagaimana dunia kita terlahir"

Ceritanya terus berlanjut.

"{Dewa Masa Lalu Bantorra} bertugas untuk mengawasi dan mencatat semua perbuatan manusia. Untuk tujuan ini, dia menciptakan Perpustakaan. Agar orang-orang tidak bisa memasukinya, ia menggali sebuah labirin bawah tanah dan menempatkan Perpustakaan itu di sana. Bahkan sampai sekarang masih ada dan aktif. Dikenal sebagai {Bantorra Library}. Dia kemudian menciptakan buku untuk mengisinya....Bantorra mengumpulkan jiwa-jiwa manusia yang mati, dan menguburkan mereka di bawah tanah. Ketika jiwa dimakamkan, secara alami kehilangan kekuatan hidup. Dan saat kekuatan hidup mereka habis, jiwa-jiwa akan menjadi fosil berisikan seluruh kenangan pemiliknya. Hanya dengan menyentuh fosil, seseorang dapat membangkitkan kembali kenangan. Bantorra lalu meninggalkan tugas menggali Buku ke para Malaikat Pustakawan"

Bersamaan dengan Relia yang perkataannya sampai di titik itu, seorang pria yang membawa keranjang penuh Buku lewat di sampingnya. Tampak bahwa orang ini baru saja selesai menggali, karena tubuhnya tertutup dalam tanah dan kotoran.

"Dahulu, waktu ketika para Dewa memerintah umat manusia, merupakan {Zaman dari Surga}. Selama zaman itu tak ada perang, kemiskinan ataupun kejahatan yang terjadi, hanya hari-hari penuh dengan kedamaian. Tapi, karena berbagai insiden, Dewa-Dewa pergi. Meninggalkan tugas merawat dunia kepada seluruh manusia. Dari tiga dewa pengawas, {Dewa Masa Lalu Bantorra} menutup diri dalam Ruangan Pemimpin Perpustakaan dan tak pernah keluar. Oleh karena itu dia mempercayakan hal-hal tentang Perpustakaan untuk manusia. Orang-orang yang mengurus Perpustakan disebut sebagai Pustakawan Bersenjata"

"....Oh, aku tahu itu"

Ucap Hyoue.

"Untuk memasuki labirin Perpustakaan, kau perlu mengalahkan binatang yang melindunginya. Sehingga Pustakawan Bersenjata harus memiliki kemampuan bertarung yang luar biasa selain berpengetahuan dalam hal sejarah"

Profesi paling sulit untuk diperoleh di dunia adalah Pustakawan Bersenjata.

Di antara banyaknya Pustakawan Bersenjata, yang paling kuat menjabat sebagai Pimpinan {Bantorra Library}.
Yang dikenal sebagai Hamyuts Meseta.

Colio juga tahu tentang dia.

Sepanjang sejarah, hanya ada empat perempuan yang telah menduduki pos terdepan di dunia ini. Dia adalah Pembunuh terkuat diantara para prajurit terhebat.

"Aku tahu tentang hal itu, Relia"

Kata Hyoue lagi, seakan menegaskan sesuatu.

"Aku juga heran kenapa bisa mengetahui ini"

"Kau tidak ingat?"

"Tidak. Karena aku sudah kehilangan hampir semua kenanganku"

"Lalu, kenapa kau bisa mengingat hal itu?"

"Aku tidak tahu"

Relia memiringkan kepalanya. Colio yang diam sampai sekarang membuka mulut.

"Tidak apa-apa, kan?"

"...."

"Lebih penting dari itu....ayo kita bunuh Hamyuts Meseta"

"....Benar"

Dengan perkataannya, obrolan mereka berakhir. Setelah itu, tak ada yang mengatakan sesuatu.

Sejujurnya, Colio sedikit iri kepada Relia yang masih mempunyai sedikit kenangan.

Namun, bahkan jika ia mengingat sesuatu, itu tidak akan membantu dirinya untuk membunuh Hamyuts Meseta. Karena mereka hanya ada untuk menghabisinya.

Berpikir ini, kemuramannya dibersihkan walau hanya sedikit. Perasaan Colio sekali lagi terfokus pada tujuan asli.

Mendadak....

"Apa kalian tertarik pada Buku? Kalian sedang berbicara tentang Dewa sekarang, kan?"

Sebuah suara memanggil ketiganya saat mereka berjalan.

Itu berasal dari seorang pria di ujung gang yang menghamparkan selembar kain di tanah. Di atasnya tertatapi rapi Buku-Buku berdebu. Pria berjenggot itu memberi isyarat pada Colio dan sisanya.

Dia seorang pedagang Buku.

"Kalian tidak ingin melihat-lihat? Ini murah"

Setelah pria itu berkata, Colio lalu menghentikan langkahnya.

Ini adalah pertama kali ia melihat secara dekat sebuah Buku.

Penampilannya seperti lempengan batu kecil yang hampir seukuran telapak tangan dan berbentuk persegi panjang. Namun, Buku-Buku yang ditawarkan di sini kehilangan bagian-bagiannya, terpecah belah atau hanya tersisa potongan-potongan kecil.

"Ayo, datang dan lihatlah. Buku-Buku ini di gali baru kemarin. Semuanya berharga. Kalian dapat menikmatinya sendiri, atau melakukan pembunuhan dengan menjualnya ke Perpustakaan. Ayo, mampirlah, seluruh Buku disini merupakan barang berkualitas"

Tindakan pembelian dan penjualan Buku sangat dilarang, tapi sepertinya pedagang buku ini tidak terlalu peduli. Dia mengangkat suaranya terhadap mereka.

"Kalian bertiga disana yang berpakaian sama. Toko Buku kami adalah untuk orang-orang seperti kalian"

Colio dan sisanya melangkah menjauh. Penjual Buku ilegal ini mungkin mencoba untuk membuat penghasilan dengan mudah.

Dia pun berdiri dan mendekat. Tampaknya ia telah menargetkan Colio yang berjalan paling belakang.

"Di sini, nak. Bagaimana dengan Buku ini? Buku yang berasal dari salah satu jenderal pada {Zaman Kekaisaran}. Aku menemukannya kemarin dari hasil galian. Jika kau berpikir aku sedang menipumu, lihatlah baik-baik"

Relia, yang mendengarnya, berbalik dan memanggil Colio.

"Colio. Abaikan dia. Ayo pergi"

"Iya"

Sayangnya, si penjual buku belum menyerah.

"Jangan mengatakan itu, ayolah. Atau kau tidak tertarik dengan jenderal? Lalu bagaimana dengan yang satu ini?"

Pria itu menarik-narik baju Colio dan menunjukkan kepadanya Buku yang lain. Dia lalu berpaling untuk melihat apa yang digenggam si penjual.

Colio tidak tahu kenapa.

Hanya untuk sesaat, sebentar saja, ia merasakan matanya telah ditarik menuju Buku itu.

Pada awalnya, Buku yang hanya tersisa sebuah pecahan kecil seukuran telapak tangan tersebut, tampak seolah-olah lempengan yang terbuat dari kaca, berbentuk segitiga dengan sisi tajam.

"Buku yang rusak hanya dapat menunjukkan sedikit kenangan, sebagai gantinya ini sungguh murah"

"Colio. Apa yang sedang kau lakukan? Ayo pergi!"

Buku setengah transparan bagaikan salju. Untuk alasan tertentu, Colio merasakan kehangatan aneh dari benda itu. Tanpa dia ketahui, kepalanya telah berpikir bahwa Buku ini merupakan sesuatu yang berharga.

"Jika menyentuhnya, kau akan terkejut. Bagaimana? Buku ini adalah peninggalan berharga tiga belas tahun yang lalu dari seorang putri"

"Colio!!"

Dipanggil dengan begitu kerasnya, Colio pun berbalik. Dia mengibaskan tangan si penjual dan berlari menyusul Relia dan Hyoue.

"Hei, nak! Jangan begitu kejam kepadaku!"

Hanya saja, pria itu masih bersikeras dan mengejarnya.

Darah mulai naik ke otak Colio. Dia kemudain meraih gagang pisau dalam saku celananya.

Memang hanya seorang amatir tentang penggunaan benda tajam, tapi Colio yakin kalau dia bisa membunuh lawan seperti si penjual Buku dengan mudah.

Jangan menghalangiku. Aku harus membunuh Hamyuts Meseta.

Bersamaan dengan pemikiran itu terlintas dibenaknya, dia menarik pisau, lalu....

"Hei. Apa kau memiliki izin dari Perpustakaan?"

Seorang pejalan kaki seperti mereka, tiba-tiba meraih tangan si pedagang Buku.

Memakai setelan sekaligus pistol besar tergantung di pinggang. Dia merupakan seorang pria yang kira-kira satu kepala lebih tinggi dari Relia, sehingga Colio yang melihatnya berpikir 'tidak tampak seperti manusia'. Dia bisa mengintip ukiran simbol pada pegangan pistol itu. Simbol dengan gambar sebuah kunci.

"Iya, tapi aku meninggalkannya di rumah...."

"….Ikut denganku"

Pria besar itu dengan mudahnya mengangkat si penjual Buku.

"Tidak, itu benar, sungguh, izin itu ada dirumahku...."

Si penjual berusaha untuk menggertak, tapi pria besar tidak mau mendengarkan ocehannya. Dia menempatkan tubuhnya di bahu dan berjalan menuju jalan utama.

Sambil menyaksikan punggungnya yang mulai menghilang, Relia berkata.

"....Orang itu adalah Pustakawan Bersenjata"

"Hah?"

"Kunci perunggu mewakili masa lalu, dan menunjukkan bahwa dirinya merupakan kaki tangan para Dewa. Itu adalah simbol dari Pustakawan Bersenjata"

"....Kau tahu banyak ya, Relia"

Hyoue terkejut.

"Tapi, itu bukan Hamyuts Meseta, kan?"

Tanya Colio.

"Benar. Hamyuts Meseta adalah seorang wanita"

"Jadi, dia tidak ada persoalannya dengan kita. Tak ada orang lain yang penting selain Hamyuts Meseta"

Colio menegaskan. Sedangkan Relia masih tampak memikirkan sesuatu.

"Ayo pergi, Relia. Kita akan membunuh Hamyuts Meseta"

"Baiklah. Ayo kita bunuh Hamyuts Meseta"

"....Oh, itu baik-baik saja"

Sekali lagi, ketiganya dengan malas berjalan-jalan di sekitar.

☆☆☆☆

Setelah berjalan untuk sementara waktu, mereka telah melewati gang.

Dari sini ke sana mereka tidak menemukan toko atau rumah, hanya lahan kosong di pinggiran kota. Ada pagar kayu yang bertugas untuk menandai batas-batas daerah.

Potongan besi, arang, abu, dan segala macam sampah berantakan bisa terlihat di sekitar. Melewatinya, hanya ada pegunungan abu-abu yang berlanjut tanpa henti.

"Tak ada di sini"

"Ya"

Mengatakan ini, jejak mereka terhenti. Lalu, sebuah suara tiba-tiba memanggil dari belakang.

"Hahaha, kalian berada dalam bahaya"

Ketiganya berbalik dan melihat seorang lelaki berbicara pada mereka.

Itu adalah seorang pemuda dengan senyum alami berseri-seri. Dia mendorong gerobak dan datang dari arah yang sama dengan Colio dan lainnya.

Gerobak itu membawa setumpuk roti. Ada juga tong kecil yang disampingnya terdapat sepotong keju dengan sebuah pisau tertancap kedalamnya.

Dia mungkin seorang pedagang roti. Gerobak menimbulkan bunyi decitan saat pemuda itu mendorongnya mendekati kelompok Colio.

"Kalian beruntung. Pria tua itu selalu menjual hal-hal tanpa peduli dengan apapun. Semua orang dari lingkungan ini adalah korbannya. Meskipun, aku kira bukan masalah besar"

Setelah berkata, pemuda ini menunjuk roti di gerobaknya.

"Ngomong-ngomong, apa kalian sudah makan siang? Roti terasa paling lezat ketika baru keluar dari panggangan"

Ketiganya saling memandang.

Sekarang mungkin waktu yang tepat untuk makan siang.

Setelah memutuskan, mereka bersandar di pagar kayu. Si pemuda mengambil pisau yang terjebak dalam keju.

"Kenapa kalian bertiga mengenakan pakaian yang sama?"

Pemuda itu berkata sambil mengiriskan pisau ke dalam roti.

Dia berada di sekitar usia Relia. Tampak seperti seorang pemuda baik hati dan mungkin telah bekerja sejak kecil, karena kemahirannya dalam menangani roti atau keju dapat terlihat.

"Tak ada alasan khusus"

Relia mewakili kelompoknya untuk berkata sambil mengangkat bahu.

Harga sepotong roti dengan keju adalah satu kirue. Itu juga sama dengan harga segelas minuman jahe.

Relia mengambil uang kertas kusut sepuluh Kirue dari dompetnya, dan sebagai kembalian menerima empat Kirue dalam bentuk koin*.
[Ya. Ini mata uang di novel ini. Kirue]

Pemuda itu mengambil pisau lalu dengan tangan tangkas memotong roti dan keju.

Setelah menyerahkan makanan kepada kelompok Colio, dia menuangkan mereka beberapa cangkir ale yang berasal dari tong.

Ketiganya mulai makan dengan tenang.

"Harganya cukup murah"

Kata Relia. Ini tampaknya bukan sekadar pujian.

Sedangkan Colio tidak peduli. Dia hanya menggigit roti dan meminum ale miliknya.

"....Di mana Hamyuts Meseta?"

Sepertinya si pedagang roti tidak mendengar gumaman Colio.

"Hmm? Apakah kau ingin ale lagi? Itu akan dikenai harga tambahan"

Pemuda ini salah paham. Colio lalu berdiri dan berkata.

"Beritahu kami, di mana Hamyuts Meseta"

Dia mendekatinya. Si penjual roti tampak terkejut mendengar kata-kata membingungkan yang keluar dari mulut Colio.

"Beritahu kami"

Ketika Colio hendak mengambil pisau, Relia buru-buru meraih lengannya dari belakang.

"Ah, maaf. Orang ini agak aneh. Dapatkah aku menambah ale?"

"….Hah. Tentu, terima kasih"

Pemuda itu menempatkan koin kirue yang baru dia terima ke dalam sakunya dan menatap Colio dengan heran.

"Dan....Boleh aku menanyakan sesuatu?"

"Aku tidak keberatan"

Si pedagang roti tampak bingung. Dia mungkin berpikir mereka semua termasuk orang-orang aneh.

"Apa kau tahu di mana Hamyuts Meseta berada?"

"Di mana Hamyuts Meseta?"

Di landa perasaan agak bingung, dia lalu mengembalikan pertanyaan Relia.

"Di mana dia....Karena dia Pimpinan Perpustakaan, berarti disana, kan?"

"Di {Bantorra Library}?"

"Iya. Bukankah kau mengetahuinya?"

Relia mulai menggaruk kepala.

"Ah, aku mengerti, itu benar"

Pemuda ini sekarang penuh tanda tanya, menatapnya.

"Umm....maafkan aku, tapi apa tujuan kalian datang ke sini?"

"Hanya jalan-jalan kecil"

"Dalam tempat semacam ini?"

"Ah, jika kami merasa ingin, kami akan melakukannya"

"Hmm, mengingatkanku, dulu aku pernah ditipu oleh pria tua itu sampai membeli Buku. Dan Buku itu...."

Si pemuda mendadak berhenti berkata.

"Ada apa?"

"Apa maksudmu, apa yang salah dengan dia?"

Dia mengangkat jari tepat pada Hyoue yang duduk di sebelah Relia lalu mengulangi perkataannya.

"Apa yang salah dengan dia?"

Colio melihat bahwa sebuah roti dan secangkir ale telah jatuh ke tanah. Hyoue telah melemparkan makanan pergi dan menggaruk dadanya.

"Haa, aah, aah, haah...."

Lebih tepat kalau Hyoue sedang menggaruk bom yang tertanam dalam tubuhnya. Jika tabung vakum itu retak, ini akan menjadi akhir.

"Hyoue, kau...."

"Re-Relia, aku sedang makan, makan, lalu...."

Cangkir Colio jatuh ke tanah.

"Tunggu, se-selamatkan aku, Relia, selamatkan aku...."

Hyoue berdiri dan menyeret kakinya menuju Relia.

Orang yang sedang dia hampiri malah berbalik. Terlihat bersiap untuk menjauh.

"Colio!! Cepat pergi dari sana!!!"

Relia menjerit, mulai berlari memunggunggi Hyoue. Akhirnya, Colio mengerti apa yang terjadi.

Dia lalu membuang roti dan ikut berlari dengan putus asa pada kecepatan penuh.

"Kau juga!!!"

"Hah?! Kenapa?"

Si pedagang roti menengok bolak-balik di antara mereka bertiga dengan ekspresi keheranan.

Hyoue pun jatuh berlutut. Dia berusaha menekan udara luar yang mencoba memasuki tabung vakum dengan menghalangi celah menggunakan jari-jarinya.

Namun suatu bunyi retakan bisa terdengar dari tabung vakum yang terlalu banyak di tekan.

"Relia, ja-jangan pergi, Re-Relia...."

"Apa yang salah? Kau tidak terlihat sehat...."

"Colio, lari---"

Suara Relia, Hyoue dan si pedagang roti, semuanya lalu tertelan oleh sebuah gemuruh keras. Sedangkan Colio runtuh karena terhempas dari belakang.

Bahunya menyentuh tanah dan entah bagaimana berhasil menghindari ledakan. Hanya saja, dia masih menerima hantaman hujan kerikil panas di punggung sambil mati-matian melindungi bom di dadanya.

"....Re-Relia...."

"Colio, kau baik-baik saja?!"

Saat ia memanggil Colio, suara berangsur-angsur kembali ke lingkungan mereka.

Relia berbaring telungkup di tanah. Dia tampaknya berhasil menghindari ledakan itu.

Melihat ke belakang, pada pusat bumi yang sudah menghitam, bara api kecil masih tersisa. Pagar kayu tinggi yang mereka sebelumnya jadikan tempat duduk, kini mengepulkan asap.

Mayat tergeletak di sebelahnya mungkin milik si penjual roti. Kepala dan lengannya hancur berkeping-keping.

Hyoue tidak terlihat di manapun. Dirinya sudah menjadi debu dan lenyap tanpa satupun jejak yang tersisa.

"...."

Colio menyaksikan ini sambil benar-benar terkejut.

Jalanan mulai menjadi berisik. Tampaknya orang-orang akan datang karena mendengar bunyi ledakan.

"Ayo kita lari lagi, Colio!"

Mereka berdua melesat ke arah berlawanan dari masyarakat yang mendekat. Karena tak ada orang di jalur ini, dengan kata lain, tak ada yang melihat Colio dan Relia.

Berlari sebentar, mereka beralih untuk berjalan kaki ketika mencoba agar tampil tidak bersalah. Ini karena siapa pun yang berlari akan terkesan mencurigakan.

Setelah beberapa saat, keduanya berhenti.

Relia berbalik dan menengok ke belakang. Mereka sudah jauh dari lokasi kejadian.

Di jalan utama ini, semua orang berlalu lalang seolah tidak menyadari apapun. Mereka mungkin belum tahu tentang ledakan itu.

"Aku ingin tahu apakah kita bisa bersantai di sini"

Kata Colio. Tapi, orang disampingnya tidak membalas.

"Ada apa, Relia?"

"....Hei, apa yang harus kita lakukan?"

"Tentang apa?"

"Apa yang harus kita lakukan? Menangis?! Tapi aku tidak benar-benar mengenal lelaki* itu hingga bisa bersedih untuknya! Kami hampir tidak membincangkan sesuatu yang pribadi sejak bertemu!"
[Yg dimaksud, Hyoue]

Seperti yang dikatakan Relia. Mereka bertemu dalam perjalanan menuju ke kota ini. Jumlah obrolan satu sama lain bisa dihitung dengan jari.

"Apa yang harus kita lakukan, Colio?"

Colio berpikir sebentar, dan kemudian menjawab dengan sederhana.

"Ayo kita bunuh Hamyuts Meseta"

"Kenapa begitu?"

"Lupakan lelaki itu. Kita tetap akan membunuh Hamyuts Meseta"

Relia memukul dinding dengan tinjunya.

"....Kau benar, tapi...."

"Ini sama apa pun yang kita lakukan. Kita akan membunuh Hamyuts Meseta dengan bom di dada kita, dan kemudian mati"

"....Itu benar! Tapi!"

Pukulannya terbang ke dinding sekali lagi. Gemetar sedikit, dan darah mengalir dari kepalan-nya.

"Tapi…."

Relia terdiam setelah memuntahkan sepatah kata.

Untuk sementara, baik Colio maupun Relia hanya berdiri di sana membisu.

Waktu pun berlalu begitu mudahnya.

Ketika rona langit mulai memerah, yang pertama berucap adalah Relia.

"Hei, Colio....Dirimu pernah bertanya-tanya?"

"Bertanya-tanya tentang apa?"

"....Kau tidak ingin tahu alasannya?"

"Alasan untuk apa?"

"....Kenapa kita harus membunuh Hamyuts Meseta?"

Relia mengatakan itu sementara menyentuh bom di dadanya.

"Aku tidak tahu"

Colio menjawab.

"Siapa yang memberi kita perintah ini? Siapa yang mengambil kenangan dan menempatkan bom di dalam tubuh kita?"

"Aku tidak bisa memikirkan siapa. Namun, aku akan tetap membunuh Hamyuts Meseta"

"….Tapi, kenapa.…"

"Aku akan membunuh Hamyuts Meseta"

Wajah Relia meringis sambil masih mengusap daerah agak ke atas dari perutnya.

"Aku akan membunuh...."

"Cukup"
Relia akhirnya terdiam.

"Aku akan membunuh Hamyuts Meseta"

Tanpa menjawab, bibir Relia terkatup erat.

"Ayo kita kembali"

Ucap Colio. Relia mulai berjalan tanpa mengeluarkan satu kata pun.

Colio tidak tahu kenapa ia harus membunuh Hamyuts Meseta.

Dia tidak tahu siapa yang memerintahkan dirinya untuk membunuh.

Dia juga tidak tahu apakah mereka termasuk dalam suatu organisasi dan sebagainya.

Tapi dia tidak dipusingkan dengan semua ini.

Colio pikir itu baik-baik saja.

Dia bangga akan dirinya yang menjadi seperti sekarang.

Sebuah bom tidak mempertanyakan apapun.

Sebuah bom tidak memiliki rasa ingin tahu apapun.

Ketika dia akan membunuh Hamyuts Meseta, dia juga akan mati.

Itulah makna menjadi bom.

Dia menganggap dirinya sebagai bom yang layak, sebuah bom yang sangat bagus.

Aku bukan manusia.

Aku bom.

Colio hidup sementara hanya memikirkan ini.



☆☆☆Chapter 1 berakhir disini☆☆☆

Comments

Popular posts from this blog

Kusoge Online (BETA) Bahasa Indonesia

Short Story: [Katanya Kalau Perjaka Sampai Umur 30 Kamu Bisa Jadi Penyihir!]