Short Story: Permainan Untuk membuat Dia Jatuh Cinta (2)


Diterjemahkan oleh I-Fun Novel, -MrStar-
(TLN: ini adalah karya kedua setelah ‘Kemungkinan Aku Bisa Membunuh Istriku Tanpa Ketahuan’, jika Anda ingin membaca karya ini, disarakan untuk membaca karya pertamanya terlebih dahulu.)
Author: Hiroro


□□□

“Buruan bikin anak!”

Itulah kata-kata favorit ayah.

Terlahir di sebuah keluarga yang  memandang wanita hanya sebagai alat pembuat anak, Sekarang aku beranjak masuk usia 20 tahun.
Di hadapanku kira-kira ada 50 foto pria yang berbeda-beda. Mereka adalah kandidat calon suami yang sudah dipersiapkan oleh ayah.
Mereka semua pria yang mencalonkan diri dengan suka rela karena menginginkan perusahaan ayah, dan ada juga mereka yang diutus untuk memperkuat hubungan antar perusahaan. Ada berbagai macam alasan, tapi aku harus menikahi salah satu pria dan melahirkan seorang anak.
Itulah alasan keberadaanku di rumah ini.

Aku tidak pernah berpikir untuk mencintai salah satu dari mereka.

Aku penasaran bagaimana semua orang percaya dengan sesuatu yang tidak berbentuk seperti cinta. Itu terdengar seperti sebuah keajaiban.
Tidak dapat memahami cinta seperti orang normal itu pasti karena aku tidak pernah dicintai.
Kusingkirkan semua pertanyaan tanpa jawaban yang terpendam dalam benakku dan menatap foto di hadapanku.

Tanpa sengaja kupilih dirinya.

Alasan terbesar aku memilih dirinya karena urutan fotonya berada di pojok paling bawah. Kelima puluh foto itu diurutkan berdasarkan seberapa besar keuntungan yang setiap orang berikan untuk perusahaan. Karena dia berada di urutan paling akhir, artinya dia sama sekali tidak berguna bagi perusahaan ayah. Demi balas dendam, aku ambil fotonya.
Di foto dia tampak seperti seorang pria biasa yang dapat ditemukan di manapun. Pria yang karakternya dapat ditebak dari aura serius karena kacamata di wajahnya. Meskipun ini adalah foto untuk kandidat calon suami, dia sama sekali tidak tersenyum. Malahan, dia terlihat seperti melotot. Marah.

Sama sekali tidak terlihat menarik untuk foto kandidat calon suami.

Melihat catatan di belakang foto, aku menjadi lebih yakin memilih pria ini.
Ditulis, setelah lulus dari universitas biasa, dia masuk ke perusahaan tingkat menengah yang bisa ditemukan di mana-mana, dan sekarang sudah bekerja selama lima tahun.
Alasan dia mencalonkan diri menjadi kandidat adalah untuk menyelamatkan perusahaan kakeknya, tulis dia.

“Benar-benar bodoh.”

Tanpa kusadari, aku mengeluarkan kata-kata itu.
Menikahi wanita yang tidak dia cintai untuk menyelamatkan orang lain. Dia pasti orang yang luar biasa baik hati, dan tidak peduli dengan diri sendiri.

Aku tidak pernah berpikir untuk mencintaimu, tapi tidak mengapa.”

Itu kata-kata yang dia ucapkan begitu kami bertemu untuk pertama kalinya. Aku tidak akan melupakan wajah ayahku begitu mendengar dia mengatakan itu. Dengan pundaknya yang gemetar dan wajah geram, ayah berteriak menyuruhku untuk memilih pria lain.
Itu sangat menarik. Aku sangat beruntung telah memilih dia.

Dan akhirnya kami menikah.

Ketika usia pernikahan kami masih sangat muda, dia berkata padaku.

“Aku mungkin akan membunuhmu dan merampas semua hartamu. Meskipun demikian, kamu tetap terima bersamaku?"

Dia pria yang sangat menarik, pikirku. Kalau dia berencana melakukan sesuatu seperti pembunuhan, seharusnya dia merahasiakannya, tapi entah kenapa, dia memberitahuku.
Ketika dia mengatakan itu, aku yakin dia tidak serius ingin membunuhku, tapi tidak tahu mengapa, matanya serius, dan aku tertawa dengan puas.
Dan terpikirkan sebuah permainan.

"Tidak masalah. Selama aku berhasil membuatmu jatuh cinta padaku lebih dahulu."

Menurutku pasti menarik kalau dia benar-benar jatuh cinta padaku.
Walaupun aku tidak berpikir aku bisa mencintai dia, aku bisa bersandiwara seperti wanita yang sedang jatuh cinta. Di sisi yang lain, meskipun dia berterus terang membenciku, dia sepertinya pembohong yang buruk.
Jadi supaya bisa membuatnya jatuh cinta padaku, aku harus bersandiwara seperti seorang kekasih.

[Permainan untuk membuat dia jatuh cinta]

Ketika aku berpikir seperti itu, pernikahan ini yang tujuannya hanya untuk mendapatkan seorang anak terasa menyenangkan bagiku. Sangat aneh.

"Mungkin aku juga akan pergi sendirian dan membunuhmu. Kemungkinan aku berhasil sekitar 40%."

Aku sudah berencana pergi ke luar negeri setelah upacara pernikahan. Sehari sebelum aku pergi, dia mengatakan itu.
Aku tidak mengerti apa yang dia maksud dengan 40%, tapi sepertinya dia berencana untuk membunuhku. Dan sekali lagi, dia mengatakannya padaku. Pria yang aneh.
Kubalas dengan santai, lalu tiba hari itu. Di pagi hari keberangkatanku, kubawa koper besar dan menuruni tangga menuju ruang tamu. Dan aku terkejut ketika melihatnya.

 “Pagi.”
“…Selamat pagi.”

Pria yang telah menjadi suamiku beberapa minggu ini sedang berdiri di sana, dengan berpenampilan rapih. Aku sangat terkejut dan terdiam melihatnya. Dia menatapku kesal, dan berkata, “Cepat, kamu akan telat!”
Mendengar kata-kata desakannya, aku langsung menuju pintu dan berbalik.

“…Sampai jumpa lagi?”
“Hm."

Alasan kenapa kalimatku menjadi pertanyaan karena aku tidak mengerti apakah dia bangun pagi-pagi untuk mengantarku atau tidak.
Dia hanya mengangguk dan membalas singkat kata-kata perpisahanku, tapi kata-kata yang kudengar sebelum menutup pintu menyentuh hatiku.

“Hati-hati.”

Hanya itu. Tapi itu sangat berarti bagiku.

□□□

Ketika kecil, sebelum aku memiliki kesadaran, aku tidak memiliki seorang ibu. Walaupun beliau menikah ke sebuah keluarga sama seperti diriku, beliau langsung meniggal setelah melahirkan aku, jadi keluargaku hanya ayahku. Ayahku, yang sangat mencintai perusahaannya, sangat jarang pulang ke rumah, kami jarang sekali sarapan dan makan malam bersama.
Ketika masuk SMA, aku tidak mempermasalahkan itu. Tinggal bersama asisten rumah tangga yang sangat akrab denganku tidaklah buruk, dan dia yang seumuran dengan nenekku sangat memanjakanku.
Hubungan kami memang tercipta karena kontrak kerja, tapi pada umur itu, aku tidak mempermasalahkannya, dan bergantung pada ‘keluarga’ dibandingkan pada ayahku.
Di musin semi tahun pertama SMA. Dia meninggal.
Ayah bilang dia akan menyewa asisten lain, tapi aku menolak. Karena bagiku, dia adalah keluarga yang tidak tergantikan.
Walaupun begitu, ayah tetap menyewa seseorang. Aku menolak keberadaanya, tapi karena keputusan ayah yang memaksa, akhirnya aku mengubah pandanganku dari ‘keluarga’ menjadi ‘asisten’ dan aku telah kehilangan ‘keluarga’ dalam hatiku.

Dan kehidupanku yang menyedihkan dimulai.

Rumahku sangat luas dan menyiksa. Aku mengambil makananku sendiri, bersiap-siap sendiri, dan berangkat ke sekolah. Tidak ada satu pun orang yang mengatar atau menyambut di pintu, dan ayahku yang jarang pulang tidak pernah mengajakku bicara.
Kalau aku mati, apakah ada orang yang akan menyadarinya?
Pertanyaan itu muncul dan menghilang.
Tanpa memberiku motivasi untuk bunuh diri.

Seperti itu, aku tumbuh dengan terbiasa pada ‘kesepian’.

“Hati-hati.”

Kata-kata yang sudah lama tidak kudengar.
Terlebih, yang mengatakannya adalah pria yang tidak kucintai, yang baru saja menjadi suamiku beberapa minggu ini, dan pria yang berniat untuk membunuhku kemarin.
Dalam hati, aku merasa sangat terhibur, dan merasa sangat senang.
Tidak bisa lagi kutahan perasaan ini, aku tertawa di dalam taksi, dan mengingat wajah enggannya ketika mengantarku pergi, kini kepalaku hanya dipenuhi strategiku untuk membuatnya jatuh cinta.

Perjalananku hanya beberapa hari, dan sejujurnya, saat-saat paling menyengankan adalah ketika memilih oleh-oleh untuknya.

Dan begitu aku kembali, kata pertama yang dia ucapkan adalah.

“Kemungkinan aku akan mencintaimu dalam setengah tahun ke depan adalah 0.001%.
“Oh, begitu.”

Itu artinya butuh waktu lebih dari setengah tahun. Itu hanya perkiraanku. Aku sudah tahu, setengah tahun tidak akan cukup untuk menangkap hatinya, jadi aku sama sekali tidak terkejut, dan hanya mendengarkan perkataannya.
Kelihatannya dia tidak puas dengan responku, dan terlihat sedikit kesal, “Aku kira kamu tidak membenciku.” Katanya.

Sepertinya dia ingin membuatku terdiam ketika mendengar perkataannya.

Pasti dia ingin melihat wajah sedihku. Dan dia kira dia sudah berhasil hanya dengan itu.
Lagi pula dari awal, aku tidak pernah sedikit pun berniat untuk mengikuti kemauan dia, dan dia bukan tipe pria yang jatuh cinta pada wanita yang bisa dia permainkan semaunya.

"...Boleh kutanya apa rencanamu untuk membunuhku selanjutnya?"

Ketika aku mengatakan kata-kata menantang itu, dia memasang wajah bingung. Dia sepertinya tidak pernah berpikir akan ditanyai seperti itu.

“Kamu ingin dibunuh?”
“Kalau bisa, aku berharap untuk dicintai olehmu.”

Itu adalah perasaanku sesungguhnya.
Di hadapanku, dia menyalakan kacamata komputernya, dan membuka aplikasi prediksi masa depan. Aku membaca huruf-huruf yang dia ketik, ‘kemungkinan aku bisa membunuh istriku tanpa ketahuan.’
Oh, begitu. Jadi itu yang dia tanyakan.
Jadi itu maksud dari ‘40%’ yang dia bicarakan sebelum aku pergi.

Setelah perbincangan sengit. Kuberikan dia oleh-oleh yang memakan waktu berjam-jam bagiku untuk memilihnya. Aku tahu dia sangat menyukai kacamatanya hanya dengan melihat sikapnya, jadi pada akhirnya aku memilih untuk bermain aman dan membelikannya kotak kacamata.
Kotak kacamata kulit berwarna hitam. Di bawahnya, kutuliskan inisialnya. Bisa dibilang, hanya ada satu di dunia, jika dilihat dari kotaknya, tapi dari penampilannya, itu hanya kotak kacamata yang bisa ditemukan di mana saja.

Dan dia melemparnya ke tempat sampah.

Aku sangat terkejut. Terkejut dari yang kukira. Itu cuma tindakan dari seseorang yang tidak ada hubungannya denganku, jadi aku tidak perlu mempedulikannya, tapi aku menggit bibirku, dan tetap terdiam. Dia langsung kembali ke kamarnya, tapi selama beberapa saat, aku terdiam di sana.

Itulah bagaimana kehidupan pengantin baru kami dimulai, ketika aku menyadarinya, setengah tahun telah berlalu.
Aku tetap melanjutkan ‘permainan membuat dia jatuh cinta,’ dan sepertinya dia masih memeriksa prediksi itu setiap hari tanpa henti.

“Hari ini lumayan. 17%.”

Sama seperti setiap pagi, awalnya aku tidak tahu tujuannya, tapi sejujurnya, aku sudah terbiasa.
Intinya, itu hanya pembuka pembicaraan. Dan aku selalu memakainya untuk mengajaknya bicara.

 “Naik 2% dari kemarin. Bagus untukmu. Aku juga sedang beruntung hari ini. Lihat, telur gulung sempurna buatanku. Kamu suka telur gulung, ya kan?”
“…Kamu tidak salah, tapi terkadang aku takut denganmu.”
 “Oh, kenapa?”
 “Tidak tahu.”

Kemudian dia tersenyum singkat, duduk di bangku, dan setelah mengambil sarapannya, kami makan bersama. Itu rutinitas kami seperti biasa.
Setiap pagi, setiap kali makan, aku selalu membuat menu kesukaannya. Aku tidak berniat merebut hatinya lewat perut, tapi antara wanita yang masak makanan yang kamu suka dan yang tidak, yang pertama lebih mungkin disukai, pikirku.
Apa yang dia suka dan tidak sangat mudah ditebak. Dia buruk dalam berbohong, setiap kali dia menyukai sesuatu, ujung mulutnya akan sedikit naik, dan ketika dia tidak menyukai sesuatu alisnya akan berkerut.

“Bagaimana? Enak, kan?”
“Hm…”

Sepertinya sarapan hari ini sesuai seleranya.

□□□

Satu tahun pun berlalu.

Pada saat itu, ayahku menanyakan apakah aku sudah beranak. Walaupun dia menanyakan itu, kami tidur terpisah, dan dia sedikit pun tidak ada niatan untuk melakukannya, jadi yang tidak mungkin tetap tidak mungkin. Kalau aku punya anak, itu pasti keajaiban dari tuhan.
Ketika kuberi tahu ayah, dia berteriak lagi. Kemudian dia panjang lebar menjelaskan kebahagiaan seorang wanita berada pada anak yang dia lahirkan, tapi saat ini, siapa pun pasti tahu kalau dia hanya ingin seorang pewaris, dilihat dari usianya.

“Jangan telpon aku lagi.”

Kuakhiri dengan kata-kata itu, dan akibatnya, dia datang ke rumah kami keesokan harinya. Saat itu adalah hari libur, dan ayah masuk ke dalam rumah ketika dia sedang ada di rumah, aku menjadi sangat panik.
Ayahku meminta penjelasan dari semua itu. Karena aku sudah memberitahu kalau kami tidur terpisah lewat telepon.

“Aku tidak berniat untuk menyentuhnya. Aku tidak mencintainya, dan aku yakin dia juga tidak ingin disentuh olehku. Wanita bukan alat untuk mendapatkan keturunan. Kalau itu alasanmu menikahkan dia kepadaku, maka kamu membuat keputusan yang salah. Jadi biarkan aku menceraikan dia saat ini juga, dan tolong nikahkan dia dengan pria yang sunguh-sungguh dia cintai.”

Kata-kata itu membungkam kami berdua.
Ayah pulang seakan-akan melarikan diri dari medan perang, dan aku menyajikan secangkir kopi untuknya.

“Terima kasih”
“Untuk apa?”
“Kamu mengatakan itu demi diriku, kan?”
“Aku… hanya ingin cerai.”

Katanya dengan cemberut, sambil menyerumput kopi buatanku.
Dia benar-benar pria yang sangat baik hati. Sepertinya dia sendiri tidak sadar itu, tapi kata-kata itu sangat membekas di hatiku.
Ingin sekali lagi aku berterima kasih padanya. Tapi kata-kata yang keluar sangat bertolak belakang dengan yang kuharapkan.

“Oh, kamu yakin? Jika kita cerai, kamu tidak akan bisa membunuhku, dan uang warisan yang sangat banyak akan menjauh dari genggamanmu.”
“…Kamu benar. Aku tidak ingin itu.”
“Boleh kutahu apa rencanamu selanjutnya?”
“Kalau aku memberitahumu, kamu akan berusaha untuk tidak dibunuh, ya kan?”
“Sebagai istrimu, aku akan menerima semuanya darimu. Jadi jangan remehkan pendirianku.”
“Sekali pun itu pisau?”

Dia menyentuhkan ujung cangkir kopi ke dadaku dan menyeringai. Kurebut cangkir kopi itu dari tangannya dan menghabiskan isinya.

“Bahkan jika ini berisi racun.”

Ketika kukatakan itu sambil tersenyum, dia tertawa keras. Selama kehidupan suami istri ini, ini adalah pertama kalinya aku melihatnya tersenyum lepas, pikirku. Dan dengan bibirnya yang masih tersenyum, dia mengangkat sebuah jari.

“Boleh kuminta secangkir kopi lagi? Tanpa racun, kalau bisa.”
“Aku tidak pernah berpikir untuk meracunimu, sayang.”

Ketika kukatakan itu, dia kembali ke wajah tanpa ekspresinya lagi. Aku merasa sedikit kesepian, jadi aku memutuskan untuk membuatnya tertawa lagi suatu hari nanti.

Kupikir-pikir, aku sendiri yang telah termakan permainanku sendiri saat itu.
Aku jatuh cinta padanya yang seharusnya jatuh cinta padaku, sejujurnya itu memalukan, tapi hari-hari yang kujalani mulai terasa sangat berharga.

Aku masih tidak mengerti cinta. Tapi dia sangat penting bagiku.

Dari sana, satu setengah tahun berlalu lagi, dan pernikahan kami masuk di tahun ketiga.
Aku masih bermain ‘permainan untuk membuat dia jatuh cinta,’ dan aku sudah menguasai seleranya dalam berpakaian dan makeup.
Sekarang aku adalah wanita yang sedang jatuh cinta, tapi sedikit bagian dari diriku tidak ingin mengakuinya.
Dia hanya berubah sedikit demi sedikit, tapi masih ada perubahan. Dia terkadang membantu pekerjaan rumah. Dari awal semua itu adalah tanggung jawabku. Awalnya aku hanya diam saja, tapi akhir-akhir ini aku mulai protes karena selama aku ada di rumah semua adalah tanggng jawabku, itu adalah pekerjaanku, jadi bukannya itu tidak adil? Akhinya aku memutuskan kalau mencuci dan membuang sampah adalah bagiannya dan dia menerima semua itu dengan enteng.

“Kalau memang berat bagimu, kamu seharusnya katakan sesuatu dari awal. Aku tidak ingin kamu mati karena beban kerja berlebihan. Aku ingin membunuhmu tanpa ketahuan.”

Akhir-akhir ini, senyuman sering muncul di wajahnya.

Kami menjadi sebuah keluarga. Perlahan-lahan tapi pasti.
Aku sangat bahagia ketika menyadari itu, dan hatiku serasa seperti menari ketika membayangkan akan memiliki rumah tangga yang hangat untuk pertama kalinya dalam hidupku.

Dan hari ulang tahunnya tiba.

Dari pagi aku berusaha keras menyiapkan segalanya, masak untuk sarapan sarapan, persiapan makan malam, berdandan dan memakai pakaian yang cocok untuk menjalankan rencana ulang tahun yang sudah kupersiapkan dari dulu.
Aku berencana untuk pergi kencan dengannya. Aku malu mengakuinya, tapi ini adalah kencan pertamaku seumur hidup. Aku adalah putri yang dikurung karena nilai dalam keluarga, dan sebenanrnya, aku juga tidak punya kenalan.
Entah berapa lama aku menantikan hari ini tiba.
Kubantah semua keragu-raguannya, dan membawanya ke Sea World kesukaannya.
Belum lama ini aku mengetahui kalau dia menyukai akurium. Ketika kami kebetulan menonton TV bersama-sama, muncul iklan akuarium. Kulihat matanya yang bersinar-sinar seperti anak kecil ketika melihat penguin. Aku sangat yakin dia menyukai akuarium.

Dan hasilnya sungguh luar biasa. Dia sangat menyukainya dan aku juga sangat bahagia dan menikmatinya.
Tapi sebenarnya hal yang paling membahagiakan bagiku adalah dalam perjalan pulang, ketika kedua tanganku penuh dengan souvenir dari Sea World, dia mengambil semua souvenir dari kedua tanganku dan membawakannya sampai rumah, tapi itu adalah rahasia yang akan kusimpan dalam hati.

“Terima kasih telah hadir dalam hidupku.”
“Hm.”

Wajahnya yang memerah sangat manis.

Setelah itu, kami selalu pergi bersama-sama setiap bulan. Awalnya ke taman terdekat, kemudian perjalanan kecil keluar kota.
Ketika aku membuatkannya bekal, dia memasang wajah patung Budha sambil memakannya, tapi aku tidak melewatkan sudut bibirnya yang sedikit naik ketika aku memasukkan ayam goreng atau telur ke dalam bekal.
Dan ketika kami jalan-jalan selanjutnya, aku memasakkan untuknya ayam goreng dan telur, dia terlihat terkejut dan berkata.

“Kamu bisa membaca pikiran?”

Itu sangat aneh dan menyenangkan… dia masih jarang tersenyum, tapi bagiku kehidupan suami istri ini mulai terasa menyenangkan.

Dan satu tahun berlalu, aku mulai sedikit agresif.
Sudah sekitar 4 tahun semenjak kami menikah.
Aku merasa sudah waktunya bagiku untuk mengakui kalau aku menyukainya, dan karena aku mengakuinya, keinginan ini mulai muncul. Aku ingin dia mencintaiku. Aku ingin kami menjadi sepasang kekasih normal dan membangun keluarga.
Sejujurnya, aku sudah berusaha sepenuh hati, setidaknya berharap dia sedikit menyukaiku. Tapi karena ekspresi dinginnya, terkadang aku tidak bisa membaca apa yang ada di benaknya.
Aku ingin mengetahui perasaannya, jadi aku memutuskan untuk mengetesnya.
Sama seperti yang dia lakukan setiap pagi.
Kunyalakan notebook model lama yang kusimpan di lemari baju, dan membuka aplikasi prediksi masa depan.
Untuk sesaat, aku ragu dengan apa yang harus kumasukkan ketika kolom kosong muncul di layar. Dan dengan gugup, aku mengetik.

‘Kemungkinan suamiku mencintaiku.’

Lalu kolom suami dan istri muncul, kuketik nama kami, dan tanggal lahir, nomor identitas kami, dan berbagai macam lainnya. Kemudian kutekan tombol ENTER.

‘0.000%’

Hasilnya.
Jawaban yang muncul dengan nada ‘tung’ membuatku tersadar.

Semua usaha yang kulakukan seperti berjalan di tempat.
Sia-sia. Berharap dia jatuh cinta padaku, aku berusaha keras belajar masak dan berdandan, bunga yang selalu kuganti setiap hari dengan senyuman, kata-kata yang kugunakan untuk memahami dirinya lebih banyak, jika kupikirkan kembali, dari awal aku selalu sendiri. Semua usaha keras yang kulakukan hanya untuk diriku sendiri. Baginya, aku pasti sangat mengganggu.
Dari awal, baginya aku adalah orang yang paling dia benci, dan dalam 5 tahun ini, aku yakin dia sama sekali tidak pernah berubah.

(Oh iya, aku tidak pernah mendengar dia mengatakan, ‘sampai jumpa lagi,’ atau ‘aku pulang’…)

Air mataku mengalir jatuh ke atas keyboard.

□□□

Dan setelah itu, aku tetap melanjutkan ‘permainan untuk membuat dia jatuh cinta.’ Tujuannya, hanya untuk membuatnya menyukaiku, tapi ketika aku memikirkannya, aku merasa malu.
Sejujurnya, tidak ada hubungannya apakah dia menganggapnya merepotkan atau tidak. Karena ini semua kulakukan karena keinginanku sendiri.
Aku yakin suatu saat nanti dia akan menatapku sambil tersenyum, jadi aku bertekad untuk terus mengajaknya bicara sambil tersenyum.

□□□

Dan hari itu tiba tanpa peringatan.
Pagi yang biasa, waktu yang biasa untuk berangkat kerja. Kuantar dia sampai depan pintu seperti biasa.

“Sampai jumpa lagi.”

Kukira aku salah dengar saat itu. Tapi tidak ada orang lain selain dia di sana, dan dari caranya mengalihkan pandangannya dengan wajah merona, aku langsung paham kalau aku tidak salah dengar.
‘Hati-hati di jalan.’ Kata-kata itu sedikit tertahan dia hidungku, entah kenapa.

“Sampai jumpa lagi.”

Sekali lagi, dia mengatakannya dengan suara yang sedikit lebih jelas, dan bergegas pergi seperti terburu-buru.
Wajahku basah. Air yang mengalir dari mataku membuat wajahku lembab; aku baru menyadarinya setelah itu.

Aku kembali ke ruang makan, dan membereskan piring-piring bekas sarapan kami. Langkahku terasa sangat ringan, sangat ringan sampai-sampai aku merasa bisa berpindah tempat dalam sekejap. Lalu aku melihat ada sesuatu yang tertinggal di atas meja kerjanya.

Sebuah kotak kacamata kulit.

Aku tidak pernah melihatnya menggunakan kotak kacamata sebelumnya, tapi hanya dia yang memakai kacamata di rumah ini, jadi tidak salah lagi kalau kotak ini adalah miliknya.
Kuambil dengan kedua tanganku. Aku merasa seperti pernah melihatnya. Mungkin aku pernah melihatnya satu kali selama tinggal bersamanya, tapi batinku berteriak membantahnya.
Kubalik kotak itu, melihat 2 huruf di bawahnya, dan terdiam.
Tertulis inisialnya, dan aku mengenalnya.

Ini adalah oleh-oleh pemberianku. Ketika pernikahan kami masih baru, souvenir yang kubeli ketika perjalanan ke luar negeri. Kotak kacamata yang dia lempar ke tempat sampah setelah dia menerimannya.
Kusentuh lapisannya yang terlihat kusam, tapi terawat dengan baik. Kudekap kotak kacamata itu di dadaku dengan kedua tanganku, dan kembali menangis lagi.

Sejujurnya, seharusnya ini tidak berakhir seperti ini. Aku seharusnya membuat dia jatuh cinta padaku, tapi tanpa sadar, aku sendiri yang telah jatuh cinta, dan merasa malu dengan diriku sendiri. Jatuh cinta dengan mudahnya, aku bertanya-tanya kenapa harus dia. Ada banyak pria yang lebih tampan dan baik hati ketimbang dirinya, dengan begitu banyak bintang di langit, aku yakin aku pasti akan menemukan seorang pria yang cocok denganku.
Dengan ribuan tanda tanya ‘kenapa’, aku sama sekali tidak menemukan jawabannya, tapi ada satu hal yang pasti.
Di antara semua pria yang kutemui dalam hidupku, dialah satu-satunya pria yang mengajariku arti ‘keluarga’.

Hari ini terasa begitu menyenangkan. Aku sama sekali tidak kesulitan ketika belanja untuk makan malam, karena setiap kali memikirkan menu makan malam yang muncul adalah makanan kesukaannya, mau bagaimana lagi.

Ketika aku sedang menyiapkan bahan makanan, tiba-tiba aku melihat kalendar, dan langsung tertawa.

Hari ini adalah hari ulang tahunku.

Tadi pagi pasti hadiah dari tuhan. Kalau begitu, tidak masalahkan kalau aku sedikit merayakan ulang tahunku sendiri?
Tidak ada yang pernah merayakannya selama ini, jadi aku hampir melupakannya, tapi satu kali saja tidak masalah. Karena, hari ini adalah hari yang paling bahagia.
Aku memiliki sebuah keluarga.

Dulu aku kesepian. Kesepian. Sangat kesepian.

Kalau aku senang, akan kukatakan ‘aku senang’.
Kalau aku bahagia, akan kukatakan ‘aku bahagia’.
Kalau aku sedih, akan kukatakan ‘aku sedih’.
Aku selalu menginginkan sebuah ‘keluarga’ yang bisa kuajak bertengkar karena masalah kecil.

Jadi, ayo beli kue.

Kue yang cukup untuk kami berdua, kue bulat dengan sebuah lilin di atasnya.
Aku selalu ingin melakukannya. Aku bisa menghitung berapa kali aku diundang untuk menghadiri acara ulang tahun teman, jadi aku sering membayangkannya dalam mimpiku.
Aku yakin dia tidak akan mengatakan ‘selamat ulang tahun’ atau semacamnya. Tidak masalah. Duduk mengelilingi kue bersama-sama saja sudah cukup.

“Kita harus meniup semua lilin bersamaan, ya kan?”

Mulutku tiba-tiba mengatakan sesuatu.
Dengan langkah ringan, kuambil dompetku, dan pergi keluar lewat ruang tamu. Pikiranku dipenuhi berbagai macam hal untuk malam ini, jadi karena itu mungkin aku ceroboh.


Aku tertabrak.


Ketika sadar, aku sudah berada di kegelapan sendirian.
Ah, aku sendirian lagi. Aku langsung mengerti, dan dadaku terasa sesak. Pada akhirnya, mungkin tuhan mengatakan supaya aku tidak terbawa suasana. Hidupku tidaklah semulus itu, perubahan seperti itu tidak ada.
Maksudku, kemungkinannya adalah 0.000%, ya kan? Kemungkinan dia mencintaiku adalah 0. Bahkan jika setahun berlalu, aku ragu prediksi itu akan berubah drastis.
Dia mencintaiku adalah hal yang paling tidak mungkin terjadi dalam hidup ini. Jadi dia tidak akan menjadi keluargaku. Aku merasa pernah mendengar dia mengatakan itu padaku.

Pikiranku tenggelam sekali lagi.

Suatu ketika, kesadaranku muncul lagi di tempat yang terlihat abu-abu, bukan hitam lagi.
Aku tidak menyadari arus waktu. Apakah waktu sudah berlalu begitu banyak, atau hanya beberapa jam? Bagiku, kenyataan kalau aku sendirian lagi adalah sesuatu yang paling menyiksaku, dan aku tidak peduli dengan waktu.
Aku merasa cahaya menyinariku entah dari mana. Sekalipun mataku tertutup, sebuah sinar menembus mataku dan mengubah sekelilingku dari abu-abu menjadi putih.

“Yuri, prediksi hari ini 0% lagi. Harimu akan menyenangkan lagi hari ini.”

Aku mendengar suaranya. Suaranya.
Mungkin terdengar sedikit samar, tapi sudah pasti itu suaranya.
Tapi aneh. Apa dia pernah memanggil namaku sebelumnya?
Setelah kupikirkan, aku menganggap suara itu hanyalah halusinasi. Kata-kata dan suara yang ingin kudengar menciptakan halusinasi di dalam kepalaku.

“Cuaca hari ini sangat bagus. Kalau kamu sudah bagun, ayo jalan-jalan bersama.”
“Oh, aku tidak bisa melihatnya. Tapi itu terdengar menyenangkan. Aku ingin jalan-jalan bersamamu juga.”

Aku menjawabnya tanpa kusadari. Bodoh sekali, melakukan percakapan dengan ilusinya sangat bodoh, pikirku. Tapi itu sangat menyenangkan, dan dengan senang kubalas perkataannya.

Setelah itu, dan setelah itu, setiap kali pikiranku sadar, aku akan bercakap-cakap dengan bayangannya.

“Hari ini, aku membawa telur gulung buatanku. Hasilnya gosong dan tidak enak sama sekali, tapi apa kamu mau makannya bersamaku suatu hari nanti?”
“Tentu saja. Jika itu masakan buatanmu, aku akan makan sekalipun beracun. Bukannya aku pernah mengatakannya padamu?”

“Sebenarnya, hari ini aku baru saja menghajar doktermu. Aku tidak menyesal memukulnya, tapi aku ingin meminta maaf untuk itu. Tapi aku tidak berani. Kalau kamu sudah bangun, maukah kamu pergi bersamaku? Mungkin kamu bisa membuatku sedikit berani.”
“Kamu adalah orang dewasa sepenuhnya, jadi kamu bisa pergi sendiri. Aku akan mengantarmu sampai tengah jalan.”

“Bunga hari ini adalah Gerbera. Mereka kelihatannya cocok denganmu. Sepertinya berkebun lagi jadi tren terbaru akhir-akhir ini. Kamu mau mencoba menanam sesuatu bersama kapan-kapan?”
“Kedengarannya menarik. Sebenarnya aku lebih suka bunga kosmos. Tapi mereka tidak cocok buat berkebun, ya kan? Aku juga suka bunga pansy, bagaimana kalau kita tanam itu?”

Ilusinya sering menggunakan kata ‘bersama’ dan ketika aku memikirkan kalau itu adalah gambaran hasratku, aku jadi sangat malu. Tapi apa semua ini benar-benar halusinasi?
Yang kuajak bicara adalah bayangan, sebuah ilusi. Jadi aku sedang bicara dengan diriku sendiri… memikirkan itu, dadaku menjadi sakit.

Jika ini semua adalah kata-katanya, aku akan sangat bahagia. Benar-benar sangat bahagia.

□□□

Aku tidak tahu sudah berapa lama aku di sini. Aku merasakan pikiranku terbangun.
Hari ini, suaranya yang terdengar lebih jelas seperti biasanya.

“Selamat ulang tahun, Yuri. Kubawakan bunga yang tidak sempat kuberikan padamu waktu itu. Kali ini aku berhasil membawa seratus bunga. Hebat, kan? Kita bisa pergi membeli hadiah untukmu begitu kamu bangun. Hadiah untuk tujuh tahun yang kita lewati, tidak peduli apa yang kamu inginkan. Karena aku sama sekali tidak tahu apa yang kamu sukai. Jadi beri tahu semuanya lain waktu, oke?”

Dan aku mencoba menjawab seperti biasa. Tapi aneh sekali. Hari ini, suaraku tidak keluar.

“Hei, kemungkinan hari ini juga 0%. Kenapa kamu masih tidur?”

Kata-katanya terdengar seperti terisak-isak. Apa dia menangis? Kalau begitu, aku tidak bisa diam saja seperti ini.

“Apa warna favoritmu? Apa hobimu?”

Kenapa kamu menangis? Apa kamu kesakitan? Kamu sedang sedih?

“Apa yang kamu lakukan ketika aku tidak ada di rumah? Apa bunga kesukaanmu?”

Aku suka bunga kosmos. Sudah kuberi tahu, bukan? Ada apa? Apa kamu tidak mendengar suaraku?

“Aku ingin melihat foto masa kecilmu. Kamu sekolah di SMA mana?”

Akan kuperlihatkan semuanya, dan aku akan ceritakan semuanya. Jadi jangan menangis, aku tidak ingin melihatmu menangis.
Berkali-kali aku mencoba mengeluarkan suara, tetap tidak keluar. Hanya suara aneh yang terdengar, dan tidak ada kata-kataku yang keluar untuk menghiburnya.

Jika dia menangis, menghiburnya adalah tugasku.

Karena aku adalah keluarganya.


Cahaya menyakitkan menyinari kelopak mataku. Kerongkonganku yang kering terasa menyakitkan hanya dan mengeluarkan suara aneh. Bayangan yang kukira dirimu ternyata memang dirimu. Tidak mungkin aku salah.

“Selamat pagi. Kamu tidur nyenyak sekali.”
“Selamat pagi, Masahiro.”

Sekali lagi, suaraku tidak mau keluar. Dan sekali lagi, dia menangis.



“Apa kamu sudah memikirkan kado ulang tahun? Kamu ingin komputer baru? Notebook lamamu sudah rusak, ya kan? Atau kamu ingin tas atau kalung? Kebanyakan wanita tertarik dengan perhiasan, apa kamu juga tertarik?”

Suatu hari, menjelang hari pelepasanku, Masahiro menanyaiku.

“Boleh aku minta apa pun?”
“Ya, karena aku sudah membuatmu menunggu untuk waktu yang lama. Selama aku mampu memberikannya, akan kuberikan.”
“Oh, aku tidak berniat meminta sesuatu yang mahal darimu.”

Tangannya yang mengelus kepalaku membuatku merasa nyaman.

“Kalau begitu, katakan. Ayo. Apa pun.”
“Kalau begitu, boleh kubisikkan ke telingamu, Masahiro.”

Karena aku sedang duduk di kursi roda, dia mendekatkan kepalanya.
Dan dengan segenap hati, kubisikkan padanya.


“Aku ingin memiliki keluarga bersamamu.”

***
(Terima kasih telah membaca Short Story ini, ini adalah short story yang sangat berkesan, karena saya menangis menerjemahkannya, cerita 1&2. Suatu saat nanti, mungkin saya akan menemukan sebuah cerita yang tidak kalah bagusnya dengan cerita ini. Jadi hingga saat itu tiba, tetaplah jadi pembaca setia website kami.) -I-Fun Novel, MrStar-


Comments

  1. Cerita yang menyentuh, saya meneteskan sedikkt air mata. Ceritq yang berkesan dengan penyampaian yang kreatif dan baik.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Kusoge Online (BETA) Bahasa Indonesia

Short Story: [Katanya Kalau Perjaka Sampai Umur 30 Kamu Bisa Jadi Penyihir!]